Kamis, 13 Desember 2012

PERTAMBANGAN EMAS






1.Dampak Pertambangan Emas
                                    Pada dasarnya ada tiga jenis limbah yang muncul akibat operasi pertambangan. Pertama, overburden atau tanah buangan hasil pengerukan. Kedua, tailing. Ini sering jadi masalah karena jumlahnya besar dan mencemari air. Dan ketiga, air asam tambang yang potensial terbentuk saat permukaan bumi dibuka sehingga unsur tanah tidak seimbang dengan udara. ”Kita hanya menyebut kerusakan lingkungan itu pada tempatan (lokasi penambangan). Padahal ini masalah dari hulu hingga kehilir.
                                             Berikut beberapa kasus pertambangan emas yang sempat dicatat TEMPO. Penambangan Liar Selain pertambangan resmi, penambangan liar juga memberikan kontribusi bagi kerusakan lingkungan. Tersebar di beberapa wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku, tapi luasnya tidak terdeteksi dengan baik.

2.PROSES PERIZINAN TAMBANG
Emas
perizinan di Indonesia dan ketidakjelasan sikap pemerintah dalam mengatasinya. Perusahaan yang juga dikenal dengan nama Kalimantan Gold ini memerkirakan sudah menghabiskan USD24 juta untuk pekerjaan ekplorasinya sejak 1997 hingga kini.
           
Namun kini perusahaan dengan tenaga kerja 90 persen masyarakat lokal itu terancam tak bisa melangsungkan pekerjaan hingga tahapan feasibility studies dan kehilangan semua investasinya karena tak kunjung tuntasnya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Padahal, permohonan izin sudah diajukan sejak lebih dari tiga tahun lalu.


3.Eksploitasi Dan Eksplorasi tambang Emas
eksplorasi dan eksploitasi emas dan tembaga di daerah Buladu oleh Pemerintah Hindia Belanda yang dimulai sejak Zaman Hindia – Belanda (abad ke-18). Bukti sejarah yang terdapat di daerah ini antara lain 3 buah kuburan Belanda di Pantai Buladu yang meninggal tahun 1899, lubang-lubang tambang dengan rel dan lori, alat pengolahan bijih emas berupa belanga berukuran besar, dan tailing padat yang terdapat di sekitar lokasi tambang .
Sementara penambangan rakyat yang lebih muda umurnya dalam sejarah seperti penambangan yang dilakukan di daerah Kelian, Kalimantan. Usaha penambangan emas oleh masyarakat setempat di Kelian diperkirakan baru dimulai setelah tahun 1930. Sebab, para geolog Belanda yang melaporkan adanya penambangan batu bara sekitar enam kilometer dari muara Sungai Kelian pada awal tahun 1930-an tidak melaporkan adanya penambangan emas. Penemuan emas oleh suku Dayak yang berdiam di pinggir sungai itu baru dilaporkan pertama kalinya tahun 1950-an. Menurut catatan pemerintah, tahun 1958-1963 dihasilkan emas 100-300 kg per tahun. Tetapi, diduga emas yang didapatkan lebih besar dari yang tercatat itu. Areal inilah yang kemudian diberikan konsesi oleh pemerintah kepada PT. Kelian Equatorial Mining (KEM).
Panjangnya lintasan sejarah yang dilalui oleh pertambangan dalam kehidupan rakyat, dapat dilihat pada aturan-aturan local (adat) dibanyak tempat , mengatur tentang pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pertambangan. Di Minangkabau (Sumbar) terdapat aturan tentang pengelolaan ulayat termasuk pertambangan yang harus dipatuhi oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan ulayat-sumberdaya tambang. Aturan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA) tersebut berbunyi:

Karimbo Babungo Kayu, ka Sungai Babungo Pasia, Kaladang Babungo Ampiang, Katanah babungo ameh .
Pepatah adat ini menggariskan bahwa setiap pemanfaatan SDA dalam territorial Minangkabau harus memberikan kontribusi kepada masyarakat adat setempat. Dalam konteks pertambangan, fee untuk masyarakat adat inilah yang disebut dengan “Bunga Emas”.
Data-data diatas menunjukkan kepada kita bahwa pertambangan telah menjadi satu bentuk usaha yang sangat tua, dikelola secara mandiri dengan alat-alat sederhana dan diselenggarakan oleh komunitas-komunitas masyarakat mandiri dan telah berkembang jauh sebelum republik ini ada. Uraian-urain singkat diatas juga menunjukkan terdapat masyarakat-masyarakat didaerah yang karena mata pencaharian dan interaksi dengan pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus, melahirkan budaya pertambangan, meskipun pada saat ini dinamai dengan penambangan tradisional, penambang rakyat atau bahkan penambang tanpa ijin (PETI).

4.PASCA PENAMBANGAN Emas
Sebagian besar lahan tidak produktif, karena didominasi tanah berpasir, miskin hara, kemasaman tanah rata-rata pH 5, dan sebagian lahan mengandung merkuri rata-rata 2,4 – 4,17 ppm.  Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki kondisi fisik, kimiawi, dan biologis tanah pada lahan pasca tambang emas, untuk dijadikan sebagai lahan perkebunan, menggunakan metode reklamasi terpadu. Metode penelitian ini terdiri dari kegiatan survey, eksperimen pada skala laboratorium, dan uji lapang. Metode survey dilakukan pada lokasi-lokasi pasca tambang emas di 6 lokasi dari 3 kabupaten di Kalimantan Tengah. Metode  reklamasi terpadu merupakan penggabungan proses: 1) bioremediasi dan fitoremediasi, 2) biofertilisasi (amelioran), 3) penambahan bahan organik, 4) revegetasi dengan tanaman penutup (cover crop), dan 5) Tahun ke II dan III: revegetasi dengan tanaman perkebunan.  Parameter keberhasilan penelitian, meliputi: 1) perbaikan struktur dan tekstur tanah, 2) peningkatan unsur hara tanah, 3) penurunan kadar Hg tanah, 4) peningkatan populasi biotik tanah, dan 5) kesuburan tanaman penutup. Pengukuran kadar Hg dan unsur hara tanah, menggunakan metode spektrofotometri.

Sumber:anyaranblog.wordpress.com, http://www.jpnn.com/read/2012/11/22/147680/Perusahaan-Tambang-Emas-Keluhkan-Rumitnya-Perizinan-, http://herius.wordpress.com/tambang-rakyat-dan-hak-hak-masyarakat-lokal-kondisi-terkini-dan-rancangan-solusi/





Tidak ada komentar:

Posting Komentar